« إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ
فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ
ذَبِيحَتَهُ »Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan dalam segala hal. Jika kalian membunuh maka membunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian menyembelih maka menyembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisau dan menyenangkan hewan yang dia sembelih (HR Muslim dan Ashhabus Sunan)
Hadis
ini sahih sebagaimana jelas hadis ini dicantumkan di dalam Shahîh
Muslim. Imam at-Tirmidzi juga berkomentar terhadap hadis ini: hasan
sahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh ath-Thayalisi dalam Musnad-nya,
Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, al-Bazzar dalam Musnad-nya,
ath-Thabarani dalam Mu’jam al-Kabîr, Abd ar-Razzaq dalam Mushannaf,
al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubrâ, Syu’ab al-îmân, dan yang
lainnya.
Makna Hadis
Sabda
Rasul saw.: InnalLâh kataba al-ihsân ‘alâ kulli syay’in. Frasa kataba
‘alâ, menurut ulama ushul artinya mewajibkan. Namun, makna
mewajibkan itu tidak bisa diterapkan. Sebab, kulli syay’in, yang menjadi
sasaran kewajiban, meliputi segala sesuatu, termasuk ghayr mukallaf yang
tidak bisa dibebani taklif. Karena itu, menurut mayoritas ulama, kata ‘alâ
dalam frasa tersebut bermakna fî (dalam). Jadi maknanya adalah kataba
fî. Hal itu seperti jawaban Rasul saw. ketika ditanya tentang amal yang
paling disukai: ash-shalâtu ‘alâ waqtihâ maknanya ash-shalâtu fî
waqtihâ (shalat pada waktunya). Menurut sebagian ulama, kata ‘alâ
itu selain bermakna fî juga bermakna li (untuk). Karena itu,
frasa kataba ‘alâ tersebut bermakna menetapkannya sebagai bagian dari
syariah, yakni mensyariatkannya atau memerintahkannya. Hanya saja, karena
diungkapkan dengan kataba ‘alâ maka perintah itu bersifat mu’akkad
(ditekankan). Ath-Thayibi seperti dikutip oleh al-Mubarakfuri dalam Tuhfah
al-Akhwadzi menjelaskan makna kata kataba di sini: “yaitu
mewajibkan, secara mubâlaghah (melebih-lebihkan), sebab ihsan di
sini adalah mustahab (sunnah) dan cakupan ihsan itu adalah
makna tafadhdhul (kelebihan/keutamaan)”.
Penggunaan
kata ‘alâ dengan makna fî atau li dan bukan menggunakan
kata ilâ itu menunjukkan bahwa ihsan yang diperintahkan itu tidak
spesifik untuk makhluk tertentu saja, tetapi umum untuk semua makhluk dan dalam
segala hal. Dengan begitu ihsan itu diperintahkan dalam hal
ibadah, dalam hubungan kita dengan diri kita sendiri dan hubungan kita dengan
manusia lainnya; juga mencakup perlakuan kita kepada makhluk lainnya baik
hewan, tumbuhan atau alam secara keseluruhan.
Kata
al-ihsân dalam hadis ini bermakna umum sehingga mencakup semua bentuk
dan jenis ihsan. Ihsan dalam hal ini bukan hanya ihsan
secara syar’i yang telah didefinisikan oleh Rasul saw. dalam riwayat Ibn
Umar ra.:
« اْلإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ »Ihsan adalah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Dia dan jika engkau tidak melihat Dia maka sesungguhnya Dia melihat engkau (HR al-Bukhari dan Muslim).
Sebab, ihsan itu diperintahkan dalam
segala sesuatu, sementara ihsan dalam hadis Ibn Umar itu khusus dalam
ibadah. Dengan demikian maksud ihsan dalam hadis ini adalah makna
bahasanya.
Menurut
al-Jurjani di dalam At-Ta’rifât, secara bahasa ihsan adalah
bagian kebaikan yang seharusnya dilakukan. Al-Qurthubi dalam
tafsirnya mengutip bahwa Ali bin Abi Thalib kw. menafsirkan ihsan dengan
tafadhdhul (keutamaan-kelebihan). Asy-Syaukani di dalam Fath
al-Qadîr ketika menafsirkan QS an-Nahl ayat 90, mengatakan: makna ihsan
secara bahasa ini menunjukkan bahwa ihsan adalah tafadhdhul
(kelebihan/keutamaan) dengan sesuatu yang tidak wajib seperti sedekah sunnah.
Termasuk ihsan adalah perbuatan yang karena itu seorang hamba diberi pahala,
berupa apa-apa yang tidak diwajibkan oleh Allah dalam ibadah maupun selain
ibadah. Karena itu, menurut Burhanuddin al-Biqai dalam tafsirnya Nazhm
ad-Durar, ihsan adalah perbuatan ketaatan menurut profil yang paling
tinggi.
Jadi
hadis ini adalah perintah Allah agar kita melakukan ketaatan dalam segala hal
sesempurna mungkin, baik dari sisi kuantitas maupun tatacara, bukan hanya
mencukupkan pada yang wajib saja.
Kemudian
Rasul saw. memberikan contoh ihsan itu dalam perbuatan yang terlihat
kejam, yaitu membunuh dan menyembelih: “fa ahsinû al-qitlata dan fa
ahsinû ad-dzabha-dalam riwayat lain adz-dzibhata-“.
Kata al-qitlata dan adz-dzibhata bermakna hay’ah al-qatl
wa adz-dzabh-bentuk dan tatacara membunuh dan menyembelih.
Jadi yang diperintahkan di sini adalah ihsan dalam hal bentuk dan
tatacara membunuh atau menyembelih, yaitu memilih cara-dalam batas
ketentuan syariah-yang paling mudah, paling cepat dan paling kecil
penderitaannya; tanpa menyiksa, menyayat apalagi mencincang sebelum
membunuhnya. Membunuh di sini bersifat umum mencakup qishash, hadd
(misalnya hadd murtad), maupun membunuh hewan, misalnya membunuh ular
atau binatang buas yang menyerang.
Rasul
saw. pun lebih mendetilkan ihsan itu dalam hal menyembelih. Beliau
menyuruh untuk menajamkan pisau dan menyenangkan hewan yang disembelih.
Dengan demikian, ihsan dalam menyembelih itu adalah menyembelih
menggunakan pisau setajam mungkin lalu menggerakkan pisau dengan kuat sehingga
secepatnya memutus kerongkongan (jalan makanan), tenggorokan (jalan
nafas/udara) dan dua urat di sekitar keduanya. Adapun menyenangkan hewan yang
disembelih itu dijelaskan dalam beberapa riwayat: memberi minum sebelum
disembelih, tidak menyembelih di hadapan hewan lain, tidak menajamkan
pisau di depan hewan yang akan disembelih, tidak membantingnya, tidak
menginjaknya, tidak memukulnya, dsb; juga membiarkan hewan itu mati sempurna
(diam) sebelum dikuliti, disayat dan dipotong-potong
.
Dengan demikian, hadis ini
memerintahkan kita melakukan ketaatan dengan kadar, ukuran, jumlah dan tatacara
dari sisi fisik, emosi maupun ekspresi dalam bentuk yang paling baik dan
sempurna. Allâhumma ij’alnâ min al-muhsinîn. [YA]
0 komentar:
Posting Komentar