Seorang Muslim sejatinya
bukanlah pembohong atau orang yang biasa melakukan kebohongan. Bahkan
seharusnya ia tidak pernah berbohong; kecuali dalam hal yang dibenarkan oleh
syariah, seperti pada saat berperang melawan musuh atau demi mendamaikan dua
orang Muslim yang sedang berselisih. Sebaliknya, seorang Muslim wajib selalu
berkata dan bersikap jujur/benar. Apalagi jika dia adalah seorang pemimpin
umat, tokoh masyarakat, atau malah seorang pejabat atau penguasa.
Berbohong jelas perbuatan
dosa. Sebaliknya, berkata dan berperilaku jujur/benar adalah wajib. Allah SWT
berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian
kepada Allah, dan jadilah kalian beserta orang-orang yang jujur/benar (QS
at-Taubah [9]: 119).
Dalam kitab Hawasyi Syarh
al-‘Aqa’id, al-‘Allamah Ibn Abi Syarif menyatakan, “Dalam istilah kaum
sufi, kejujuran/kebenaran (ash-shidqu) bermakna: samanya (perilaku
seseorang) dalam keadaan tersembunyi (dari manusia) maupun dalam keadaan
terang-terangan (terlihat manusia); kesesuaian (penampakan) lahiriah seseorang
dengan batiniahnya. Dengan kata lain, keadaan seorang hamba tidak bertentangan
dengan perilakunya, dan perilakunya tidak berlawanan dengan keadaannya.”
Dalam kitab Risalah
al-Qusyairiyah karya Syaikh Zakariya dinyatakan bahwa al-Junaid pernah
ditanya, “Samakah sikap jujur/benar dengan ikhlas?” ia menjawab, “Keduanya
berbeda. Jujur/benar itu pangkal/pokok (ashl[un]), sementara ikhlas
itu ranting/cabang (far’[un]). Kejujuran/kebenaran adalah pangkal
segala sesuatu, sedangkan keikhlasan tidak terjadi kecuali setelah melakukan
perbuatan. Amal perbuatan tidaklah diterima oleh Allah SWT kecuali dengan
sikap jujur/benar dan ikhlas.”
Dalam ayat di atas, Allah SWT
berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian
kepada Allah; yakni dengan cara meninggalkan maksiat (dan tentu dengan
menjalankan ketaatan kepada Allah SWT). Jadilah kalian beserta orang-orang
yang jujur/benar; yakni baik dalam keimanan maupun dalam memenuhi
berbagai macam perjanjian. Sebagian ulama menyatakan: ma’a
ash-shadiqqin (beserta orang-orang yang jujur/benar) artinya bersama
orang-orang yang senantiasa berdiri di atas jalan hidup yang benar (‘ala
minhaj al-haqq).
Terkait dengan ayat di atas,
di dalam sebuah hadisnya Baginda Rasulullah SAW bersabda, sebagaimana
dituturkan oleh Ibnu Mas’ud, “Sesungguhnya kejujuran/kebenaran (ash-shidqu)
mengantarkan pada kebaikan (al-birru), dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan
pada surga. Sesungguhnya kebohongan/kedustaan mengantarkan pada
kefasikan/kemaksiatan, dan sesungguhnya kefasikan/kemaksiatan mengantarkan pada
neraka. Sesungguhnya seseorang yang benar-benar bersikap jujur/benar akan
dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur/benar. Sesungguhnya seseorang
yang benar-benar berbohong di sisi Allah akan dicatat sebagai pembohong.”
(Mutaffaq ‘alaih).
Maknanya, kejujuran/kebenaran
dalam ucapan akan mengantarkan pada amal shalih yang sunyi
dari segala cela. Dalam hal ini al-birru adalah nama untuk
menyebut segala jenis kebaikan (al-khayr). Imam al-Qurthubi berkata,
“Setiap orang yang memahami Allah SWT wajib bersikap jujur/benar dalam ucapan,
ikhlas dalam amal perbuatan dan senantiasa ‘bersih’ (tidak banyak melakukan
dosa/kemaksiatan) dalam seluruh keadaan. Siapapun yang keadaannya seperti itu,
dialah orang-orang benar-benar baik dan benar-benar ada dalam ridha Allah Yang
Maha Pengampun.” (Lihat: Muhammad bin ‘Allan ash-Shiddiqi, Dalil al-Falihin
li Thuruq Riyadh ash-Shalihin, I/ 146).
Seorang yang jujur/benar
pasti akan jauh dari sifat-sifat munafik-sebagaimana dinyatakan oleh Baginda
Rasulullah SAW-yakni: dusta dalam berbicara; ingkar janji, mengkhianati
amanah (HR al-Bukhari dan Muslim).
Terkait dengan sifat munafik
ini, Sahabat Hudzaifah ra pernah berkata, “Orang-orang munafik sekarang lebih
jahat (berbahaya) daripada orang munafik pada masa Rasulullah SAW” Saat ia
ditanya, “Mengapa demikian?” Hudzaifah menjawab, “Sesungguhnya pada masa
Rasulullah SAW mereka menyembunyikan kemunafikannya, sedangkan sekarang mereka
berani menampakkannya.” (Diriwayatkan oleh al-Farayabi tentang sifat an-nifaq
(51-51), dengan isnad sahih).
Imam Ibnu Taimiyah berkata,
“Al-Kidzb (dusta) adalah salah satu rukun dari kekufuran.”
Selanjutnya ia menuturkan bahwa jika Allah menyebut kata nifak dalam
Alquran, maka Dia menyebutnya bersama dengan dusta (al-kidzb).
Demikian pula sebaliknya (Lihat: QS al-Baqarah: 9-10; QS al-Munafiqun: 1).
Walhasil, dusta/bohong
merupakan karakter yang secara kongkret membuktikan bahwa pelakunya telah
terjangkiti virus kemunafikan. Semoga kita terpelihara dari sifat tersebut.
Amin [abi/ht.or.id]
0 komentar:
Posting Komentar