Narkoba dalam istilah
fiqih kontemporer disebut “al mukhaddirat” (Inggris : narcotics).
Definisinya menurut Syaikh Wahbah Zuhaili adalah segala sesuatu yang
membahayakan tubuh dan akal (kullu maa yadhurr al
jism wa al ‘aql). (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 4/177). Definisi itu
kurang tepat karena terlalu luas, mengingat definisi itu dapat mencakup apa-apa
yang di luar pengertian narkoba, semisal juga racun dan rokok. Ada definisi
lain yang lebih tepat, yakni bahwa narkoba adalah segala materi (zat) yang
menyebabkan hilangnya kesadaran pada manusia atau hewan dengan derajat
berbeda-beda, seperti hasyisy (ganja), opium, dan lain-lain. (maaddatun tusabbibu fil insan aw al hayawan fuqdan al wa’yi bidarajaatin
mutafawitah). (Ibrahim Anis dkk, Al Mu’jam Al Wasith, hlm. 220).
Syaikh Sa’aduddin Mus’id
Hilali mendefisinikan narkoba sebagai segala materi (zat) yang menyebabkan
hilangnya atau lemahnya kesadaran/penginderaan. (Sa’aduddin Mus’id Hilali, At Ta`shil As Syar’i li Al Kahmr wa Al Mukhaddirat, hlm. 142).
Narkoba adalah masalah
baru, yang belum ada masa imam-imam mazhab yang empat. Narkoba baru muncul di
Dunia Islam pada akhir abad ke-6 hijriyah (Ahmad Fathi Bahnasi, Al Khamr wa Al Mukhaddirat fi Al Islam, (Kairo : Muassasah Al
Khalij Al Arabi), 1989, hlm. 155).
Namun
demikian tak perbedaan di kalangan ulama mengenai haramnya narkoba dalam
berbagai jenisnya, baik itu ganja, opium, morfin, mariyuana, kokain, ecstasy,
dan sebagainya. Sebagian ulama mengharamkan narkoba karena diqiyaskan dengan
haramnya khamr, karena ada kesamaan illat (alasan hukum) yaitu sama-sama
memabukkan (muskir).
Namun menurut kami, yang lebih tepat adalah pendapat yang mengatakan, haramnya
narkoba bukan karena diqiyaskan dengan khamr, melainkan karena dua alsan; Pertama,
ada nash yang mengharamkan narkoba, Kedua,
karena menimbulkan bahaya (dharar)
bagi manusia. Inilah pendapat Syaikh
Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, juz IV, hlm. 177.
Nash tersebut adalah
hadis dengan sanad sahih dari Ummu salamah RA bahwa Rasulullah SAW telah
melarang dari segala sesuatu yang memabukkan (muskir) dan melemahkan (mufattir). (HR Ahmad, Abu Dawud no 3686). (Saud Al Utaibi, Al Mausu’ah Al Jina`iyah Al Islamiyah,
1/700). Yang dimaksud mufattir (tranquilizer),
adalah zat yang menimbulkan rasa tenang/rileks (istirkha`) dan malas (tatsaqul) pada tubuh manusia.
(Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam
Lughah Al Fuqoha`, hlm. 342).
Disamping
nash, haramnya narkoba juga dapat didasarkan pada kaidah fiqih tentang bahaya (dharar) yang berbunyi : Al ashlu fi al madhaar at tahrim (hukum
asal benda yang berbahaya [mudharat] adalah haram). (Taqiyuddin An
Nabhani, Al
Syakhshiyah Al Islamiyah, 3/457; Muhammad
Shidqi bin Ahmad Al Burnu, Mausu’ah
Al Qawa’id Al Fiqhiyah, 1/24). Kaidah ini berarti bahwa
segala sesuatu materi (benda) yang berbahaya, hukumnya haram, sebab syariah
Islam telah mengharamkan terjadinya bahaya. Dengan demikian, narkoba diharamkan
berdasarkan kaidah fiqih ini karena terbukti menimbulkan bahaya bagi
penggunanya.
Sanksi
(uqubat) bagi mereka yang menggunakan narkoba adalah ta’zir, yaitu sanksi yang
jenis dan kadarnya ditentukan oleh Qadhi, misalnya dipenjara, dicambuk, dan
sebagainya. Sanksi ta’zir dapat berbeda-beda sesuai tingkat kesalahannya.
Pengguna narkoba yang baru beda hukumannya dengan pengguna narkoba yang sudah
lama. Beda pula dengan
pengedar narkoba, dan beda pula dengan pemilik pabrik narkoba. Ta’zir dapat
sampai pada tingkatan hukuman mati. (Saud Al Utaibi,Al Mausu’ah Al Jina`iyah Al Islamiyah, 1/708-709; Abdurrahman Maliki, Nizhamul Uqubat, 1990, hlm. 81 & 98). Wallahu a'lam [K.H. M. Shiddiq Al Jawi]
0 komentar:
Posting Komentar