Definisi Riba
Secara literal, riba bermakna tambahan (al-ziyadah).
Sedangkan menurut istilah; Imam Ibnu al-‘Arabiy mendefinisikan riba
dengan; semua tambahan yang tidak disertai dengan adanya pertukaran kompensasi.
Imam Suyuthiy dalam Tafsir Jalalain menyatakan, riba
adalah tambahan yang dikenakan di dalam mu’amalah, uang, maupun makanan, baik
dalam kadar maupun waktunya.
Di dalam kitab al-Mabsuuth,
Imam Sarkhasiy menyatakan bahwa riba adalah al-fadllu al-khaaliy
‘an al-‘iwadl al-masyruuth fi al-bai’ (kelebihan atau tambahan yang tidak
disertai kompensasi yang disyaratkan di dalam jual beli). Di dalam jual
beli yang halal terjadi pertukaran antara harta dengan harta. Sedangkan jika di
dalam jual beli terdapat tambahan (kelebihan) yang tidak disertai kompensasi,
maka hal itu bertentangan dengan perkara yang menjadi konsekuensi sebuah jual
beli, dan hal semacam itu haram menurut syariat. Dalam Kitab al-Jauharah
al-Naiyyirah, disebutkan; menurut syariat, riba adalah aqad bathil
dengan sifat tertentu, sama saja apakah di dalamnya ada tambahan maupun tidak.
Perhatikanlah, anda memahami bahwa jual beli dirham dengan dirham yang
pembayarannya ditunda adalah riba; dan di dalamnya tidak ada tambahan.
Di dalam Kitab Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaaj,
disebutkan; menurut syariat, riba adalah ‘aqd ‘ala ‘iwadl makhshuush ghairu
ma’luum al-tamaatsul fi mi’yaar al-syar’ haalat al-‘aqd au ma ta`khiir fi
al-badalain au ahadihimaa” (aqad atas sebuah kompensasi tertentu yang
tidak diketahui kesesuaiannya dalam timbangan syariat, baik ketika aqad itu
berlangsung maupun ketika ada penundaan salah satu barang yang ditukarkan).
Dalam Kitab Hasyiyyah al-Bajairamiy ‘ala al-Khathiib disebutkan;
menurut syariat, riba adalah ‘aqd ‘ala ‘iwadl makhshuush ghairu ma’luum
al-tamaatsul fi mi’yaar al-syar’ haalat al-‘aqd au ma ta`khiir fi al-badalain
au ahadihimaa” (aqad atas sebuah kompensasi tertentu yang tidak diketahui
kesesuaiannya dalam timbangan syariat, baik ketika aqad itu berlangsung maupun
ketika ada penundaan salah satu barang yang ditukarkan, maupun keduanya)”. Riba
dibagi menjadi tiga macam; riba fadlal, riba yadd, riba nasaa’i. Pengertian riba semacam ini juga
disebutkan di dalam Kitab Mughniy al-Muhtaaj ila Ma’rifat al-Faadz
al-Minhaaj.
Dalil Keharaman Riba
Seluruh ‘ulama sepakat mengenai keharaman riba, baik yang dipungut
sedikit maupun banyak. Seseorang tidak boleh menguasai harta riba; dan harta
itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, jika pemiliknya sudah diketahui, dan
ia hanya berhak atas pokok hartanya saja.
Al-Quran dan Sunnah dengan shahih telah menjelaskan keharaman riba dalam berbagai bentuknya; dan
seberapun banyak ia dipungut.
Allah SWT berfirman:
“Hai orang – orang
yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah
kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (Q.S. Ali Imran: 130)
Dari ayat di atas, Ibnu Katsir
dalam tafsirnya menerangkan bahwa Allah SWT melarang hamba-Nya yang mukmin
mempraktekkan riba dan memakannya berlipat ganda sebagaimana berlaku di zaman
jahiliyyah, dimana berlaku kebiasaan, hutang harus dilunasi tepat pada waktunya
atau ditunda dengan disertai bunga yang makin lama makin berlipat ganda
bilangan yang sedikit menjadi makin banyak dan berlipat – lipat. Allah SWT
memerintahkan hamba – hamba-Nya bertakwa agar beruntung di dunia dan di
akhirat, dengan peringatan keras agar menjauhkan diri dari api neraka yang
tersedia bagi orang – orang kafir.
Padahal Allah SWT juga berfirman:
“Orang – orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat) ,
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. Orang – orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (Q.S. Al Baqarah:
275)
Ibnu Katsir menafsirkan dalam
ayat di atas Allah menceritakan sifat orang yang menyalahgunakan kalimat
menolong atau membantu, padahal sebenarnya ia mencari keuntungan bahkan
mencekik dan menghisap darah. Mereka adalah pemakan riba. Allah menyatakan,
bahwa mereka yang memekan riba tak dapat berdiri tegak dalam hidupnya di tengah
masyarakat, melainkan seperti orang kesurupan setan. Sebab, ia tak akkan pernah
tenang sesudah ia menghisap darah dan mendapatkan kekayaan dengan cara sekejam
– kejamnya karena sasarannya selalu orang – orang yang membutuhkan bantuan
dengan cara menghutang. Lebih – lebih kelak jika bangkit dari kubur di hari
kiamat ia bagaikan orang kesurupan yang
dipermainkan setan.
Ibnu Abbas ra. berkata,
”Pemakan riba (rentenir) akan dibangkitkan di hari kiamat bagaikan orang gila
tercekik”. Ibnu Abbas ra. juga mengatakan, “Angkatlah senjatamu untuk berperang”. Kemudian Ibnu Abbas
membaca Al Baqarah: 275 ini.
Abu Hurairah ra. menuturkan
bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Ketika malam Mi’raj aku melihat suatu kaum yang
perut mereka bagaikan rumah. Dari dalamnya tampak ada ular – ular yang merayap
keluar. Kemudian aku bertanya, “Siapakah mereka itu, hai Jibril?” Jawab Jibril,
‘Mereka itu kaummu yang memakan riba’.”
Kemudian untuk ayat “ . . .Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat)
, Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. . . “. Maknanya yaitu karena mereka telah
menentang hukum Allah, dan mengatakan bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal
dalam hal ini mereka mempergunakan qiyas (permisalan) yang terbalik dan keliru.
Sedangkan ayat “. . . Orang – orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil
riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada Allah . . .” bermakna barangsiapa yang
mendengar larangan Allah ini lalu berhenti, baginya apa yang telah lalu sebelum
turunnya ayat yang mengharamkan riba ini, maka Allah akan memaafkan dosa –
daosa yang lalu.
Juga disebutkan dalam sabda
Nabi SAW ketika fathu makkah, “Dan setiap riba yang terjadi di masa jahiliyyah
terletak di bawah telapak kakiku, dan yang pertama aku hapus ialah riba yang
dilakukan oleh Abbas”. Maka sejak Nabi SAW bersabda begitu, maka orang yang
biasa membayar bunga hutangnya dihentikan, dan yang harus dibayar hanya pokok
hutangnya saja. Dan Nabi SAW tidak menyuruh mereka yang sudah menerima bunga
riba untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya.
Terakhir ayat ini berkata “ . . . Orang yang
kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya” bermakna barangsiapa yang tetap mengulangi
perbuatan ribanya sesudah mendapat keterangan ini, maka mereka layak menerima
siksa Allah SWT. Mereka ahli neraka dan kekal di dalamnya.
Nabi SAW dalam hal ini
bersabda, “Barangsiapa yang tidak menghentikan (meninggalkan) mukhabarah, maka
hendaknya ia diberitahu bahwa ia akan berperang dengan Allah dan Rasul-Nya”.
Dosa – Dosa Riba
Di dalam Sunnah, Nabiyullah Muhammad saw bersabda:
دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ
الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ زِنْيَةً
“Satu dirham riba yang dimakan
seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba), maka itu lebih berat
daripada tiga puluh enam kali zina”. (HR Ahmad
dari Abdullah bin Hanzhalah).
الرِبَا ثَلاثَةٌَ وَسَبْعُوْنَ
بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ, وَإِنَّ أَرْبَى
الرِّبَا عَرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمَ
“Riba itu mempunyai 73 pintu, sedang
yang paling ringan seperti seorang laki-laki yang menzinai ibunya, dan
sejahat-jahatnya riba adalah mengganggu kehormatan seorang muslim”. (HR
Ibn Majah).
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّباَ وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ
وَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah saw melaknat orang memakan
riba, yang memberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia
bersabda; Mereka semua sama”. (HR Muslim)
Di dalam Kitab al-Mughniy,
Ibnu Qudamah mengatakan, “Riba diharamkan berdasarkan Kitab, Sunnah,
dan Ijma’. Adapun Kitab, pengharamannya didasarkan pada firman
Allah swt,”Wa harrama al-riba” (dan Allah swt telah mengharamkan
riba) (Al-Baqarah:275) dan ayat-ayat berikutnya. Sedangkan Sunnah;
telah diriwayatkan dari Nabi saw bahwasanya beliau bersabda, “Jauhilah oleh
kalian 7 perkara yang membinasakan”. Para shahabat bertanya, “Apa itu, Ya
Rasulullah?”. Rasulullah saw menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh
jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak
yatim, lari dari peperangan, menuduh wanita-wanita Mukmin yang baik-baik
berbuat zina”. Juga didasarkan pada sebuah riwayat, bahwa Nabi saw telah
melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya”.[HR.
Imam Bukhari dan Muslim]…Dan umat Islam telah berkonsensus mengenai keharaman
riba”.
Imam al-Syiraaziy di dalam Kitab
al-Muhadzdzab
menyatakan; riba merupakan perkara yang diharamkan. Keharamannya didasarkan
pada firman Allah swt, “Wa ahall al-Allahu al-bai` wa harrama al-riba”
(Allah swt telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba)[Al-Baqarah:275], dan juga firmanNya, “al-ladziina ya`kuluuna
al-riba laa yaquumuuna illa yaquumu al-ladziy yatakhabbathuhu al-syaithaan min
al-mass” (orang yang memakan riba tidak bisa berdiri, kecuali seperti
berdirinya orang yang kerasukan setan)”. [al-Baqarah:275]…..Ibnu Mas’ud
meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw melaknat orang yang
memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya”. [HR. Imam Bukhari dan
Muslim].
Imam al-Shan’aniy di dalam Kitab Subul
al-Salaam mengatakan; seluruh umat telah bersepakat atas haramnya
riba secara global.
Di dalam Kitab I’aanat al-Thaalibiin disebutkan; riba
termasuk dosa besar, bahkan termasuk sebesar-besarnya dosa besar (min akbar
al-kabaair). Pasalnya, Rasulullah saw telah melaknat orang yang memakan
riba, wakil, saksi, dan penulisnya. Selain itu, Allah swt dan RasulNya telah
memaklumkan perang terhadap pelaku riba. Di dalam Kitab al-Nihayah
dituturkan bahwasanya dosa riba itu lebih besar dibandingkan dosa zina,
mencuri, dan minum khamer. Imam Syarbiniy di dalam Kitab al-Iqna’
juga menyatakan hal yang sama. Mohammad
bin Ali bin Mohammad al-Syaukaniy menyatakan; kaum Muslim sepakat bahwa riba
termasuk dosa besar.
Imam Nawawiy di dalam Syarh Shahih Muslim juga menyatakan
bahwa kaum Muslim telah sepakat mengenai keharaman riba jahiliyyah secara
global. Mohammad Ali al-Saayis di dalam Tafsiir Ayaat Ahkaam
menyatakan, telah terjadi kesepakatan atas keharaman riba di dalam dua
jenis ini (riba nasii’ah dan riba fadlal). Keharaman riba
jenis pertama ditetapkan berdasarkan al-Quran; sedangkan keharaman riba jenis
kedua ditetapkan berdasarkan hadits shahih. Abu Ishaq di dalam Kitab
al-Mubadda’ menyatakan; keharaman riba telah menjadi konsensus,
berdasarkan al-Quran dan Sunnah.
Jenis-jenis Riba
Riba terbagi menjadi empat
macam; (1) riba nasiiah (riba jahiliyyah); (2) riba fadlal; (3) riba
qaradl; (4) riba yadd.
1.
Riba
Nasii`ah
Riba Nasii`ah adalah tambahan
yang diambil karena penundaan pembayaran utang untuk dibayarkan pada tempo yang
baru, sama saja apakah tambahan itu merupakan sanksi atas keterlambatan
pembayaran hutang, atau sebagai tambahan hutang baru. Misalnya, si A
meminjamkan uang sebanyak 200 juta kepada si B; dengan perjanjian si B harus
mengembalikan hutang tersebut pada tanggal 1 Januari 2009; dan jika si B
menunda pembayaran hutangnya dari waktu yang telah ditentukan (1 Januari 2009),
maka si B wajib membayar tambahan atas keterlambatannya; misalnya 10% dari
total hutang. Tambahan pembayaran di sini bisa saja sebagai bentuk sanksi atas
keterlambatan si B dalam melunasi hutangnya, atau sebagai tambahan hutang baru
karena pemberian tenggat waktu baru oleh si A kepada si B. Tambahan inilah yang
disebut dengan riba nasii’ah.
Adapun dalil pelarangannya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim;
الرِّبَا فِيْ
النَّسِيْئَةِ
” Riba itu dalam nasi’ah”.[HR
Muslim dari Ibnu Abbas]
Ibnu Abbas berkata: Usamah bin Zaid telah menyampaikan kepadaku bahwa
Rasulullah saw bersabda:
آلاَ إِنَّمَا الرِّبَا
فِيْ النَّسِيْئَةِ
“Ingatlah, sesungguhnya riba itu dalam
nasi’ah”. (HR Muslim).
2. Riba Fadlal
Riba fadlal adalah riba yang diambil dari kelebihan pertukaran barang
yang sejenis. Dalil pelarangannya adalah hadits yang dituturkan oleh Imam
Muslim.
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ
بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ
بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا
بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا
كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Emas dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan
garam, semisal, setara, dan kontan. Apabila jenisnya berbeda, juallah sesuka
hatimu jika dilakukan dengan kontan”.(HR Muslim dari Ubadah bin Shamit ra).
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ
وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ
مِثْلًا بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا
“Emas dengan emas, setimbang dan
semisal; perak dengan perak, setimbang dan semisal; barang siapa yang menambah
atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah riba”. (HR Muslim
dari Abu Hurairah).
عن فضالة قال: اشتريت يوم
خيبر قلادة باثني عشر دينارًا فيها ذهب وخرز، ففصّلتها فوجدت فيها أكثر من اثني
عشر ديناراً، فذكرت ذلك للنبي صلّى الله عليه وسلّم فقال: ”لا تباع حتى
تفصل“
“Dari Fudhalah berkata: Saya membeli
kalung pada perang Khaibar seharga dua belas dinar. Di dalamnya ada emas dan
merjan. Setelah aku pisahkan (antara emas dan merjan), aku mendapatinya lebih
dari dua belas dinar. Hal itu saya sampaikan kepada Nabi saw. Beliau pun
bersabda, “Jangan dijual hingga dipisahkan (antara emas dengan lainnya)”. (HR
Muslim dari Fudhalah)
Dari Said bin Musayyab bahwa Abu Hurairah
dan Abu Said:
أن رسول الله صلّى الله
عليه وسلّم بعث أخا بني عدي الأنصاري فاستعمله على خيبر، فقدم بتمر جنيب [نوع من
التمر من أعلاه وأجوده] فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: ”أكلّ تمر خيبر
هكذا“؟ قال: لا والله يا رسول الله، إنا لنشتري الصاع بالصاعين من الجمع [نوع من
التمر الرديء وقد فسر بأنه الخليط من التمر]، فقال رسول الله صلّى الله عليه
وسلّم: ”لا تفعلوا ولكن مثلاً بمثل أو بيعوا هذا واشتروا بثمنه من هذا، وكذلك
الميزان“
“Sesungguhnya Rasulullah saw mengutus
saudara Bani Adi al-Anshari untuk dipekerjakan di Khaibar. Kamudia dia datang
dengan membawa kurma Janib (salah satu jenis kurma yang berkualitas tinggi dan
bagus). Rasulullah saw bersabda, “Apakah semua kurma Khaibar seperti itu?” Dia
menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah . Sesunguhnya kami membeli satu sha’ dengan
dua sha’ dari al-jam’ (salah satu jenis kurma yang jelek, ditafsirkan juga
campuran kurma). Rasulullah saw bersabda, “Jangan kamu lakukan itu, tapi
(tukarlah) yang setara atau juallah kurma (yang jelek itu) dan belilah (kurma
yang bagus) dengan uang hasil penjualan itu. Demikianlah timbangan itu”. (HR
Muslim).
3. Riba al-Yadd.
Riba yang disebabkan karena penundaan pembayaran dalam pertukaran
barang-barang. Dengan kata lain, kedua belah pihak yang melakukan pertukaran
uang atau barang telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan serah terima.
Larangan riba yadd ditetapkan berdasarkan hadits-hadits berikut
ini;
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ
رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ
رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
“Emas dengan emas riba kecuali dengan
dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan;
kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kismis dengan kismis
riba, kecuali dengan dibayarkan kontan (HR al-Bukhari dari Umar bin
al-Khaththab)
الْوَرِقُ بِالذَّهَبِ
رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُِالتَّمْرِ
رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
“Perak dengan emas riba kecuali dengan
dibayarkan kontan; gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan
kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan
kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan“. [Ibnu Qudamah, Al-Mughniy,
juz IV, hal. 13]
4.
Riba Qardl
Riba qaradl adalah meminjam
uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan yang harus
diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Riba semacam ini
dilarang di dalam Islam berdasarkan hadits-hadits berikut ini;
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Burdah bin Musa; ia
berkata, ““Suatu ketika, aku mengunjungi Madinah. Lalu aku berjumpa dengan
Abdullah bin Salam. Lantas orang ini berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya engkau
berada di suatu tempat yang di sana praktek riba telah merajalela. Apabila
engkau memberikan pinjaman kepada seseorang lalu ia memberikan hadiah kepadamu
berupa rumput kering, gandum atau makanan ternak, maka janganlah diterima.
Sebab, pemberian tersebut adalah riba”. [HR. Imam Bukhari]
Juga, Imam Bukhari dalam “Kitab Tarikh”nya, meriwayatkan sebuah
Hadits dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Bila ada yang
memberikan pinjaman (uang maupun barang), maka janganlah ia menerima hadiah
(dari yang meminjamkannya)”.[HR. Imam Bukhari]
Hadits di atas menunjukkan bahwa peminjam tidak boleh memberikan hadiah
kepada pemberi pinjaman dalam bentuk apapun, lebih-lebih lagi jika si peminjam
menetapkan adanya tambahan atas pinjamannya. Tentunya ini lebih dilarang lagi.
Pelarangan riba qardl juga sejalan dengan kaedah ushul fiqh, “Kullu
qardl jarra manfa’atan fahuwa riba”. (Setiap pinjaman yang
menarik keuntungan (membuahkan bunga) adalah riba”.[Sayyid Saabiq, Fiqh
al-Sunnah, (edisi terjemahan); jilid xii, hal. 113]
Praktek-praktek riba yang sering dilakukan oleh bank adalah riba
nasii’ah, dan riba qardl; dan kadang-kadang dalam transaksi-transaksi lainnya,
terjadi riba yadd maupun riba fadlal. Seorang Muslim wajib menjauhi
sejauh-jauhnya praktek riba, apapun jenis riba itu, dan berapapun kuantitas
riba yang diambilnya. Seluruhnya adalah haram dilakukan oleh seorang Muslim.
Tulisan ini merupakan artikel penulis saat berdiskusi dengan dosen di kampus.
0 komentar:
Posting Komentar