Harga Menentukan Kualitas

"Harga menentukan kualitas", sebuah slogan yang lahir dari produk-produk yang ada di masyarakat. Namun apakah slogan tersebut layak disematkan di dunia pendidikan? Terlebih lagi dunia perguruan tinggi?

Ada beberapa kampus mengatakan, "kampus kami berkualitas, maka untuk menjaga dan meningkatkan kualitas ini diperlukan dana yg cukup besar. Karena dana yg terkumpul tsb digunakan utk kepentingan peningkatan kualitas". Sungguh pernyataan tsb persis dg slogan di atas, "Harga menentukan kualitas".

Bagaimana mungkin, seharusnya negara dalam hal ini harus menyediakan pendidikan yang berkualitas, namun seperti berlepas tangan dan menyerahkan dunia pendidikan dijadikan spt dunia bisnis. "Harga menentukan kualitas" itu lahir dari dunia bisnis. Ini sama saja, negara mengatakan, "jadikanlah dunia pendidikan seperti dunia bisnis".

Sehingga jangan salah, orang yang terlahir dari dunia pendidikan kampus pun akan berpikiran begitu tatkala memangku jabatan, "Jadikan negara ini sebagai dunia bisnis". Karena mereka menganggap bahwa saat kuliah mereka disedot dan ditekan oleh kebijakan-kebijakan bisnis, bukan merasakan kebijakan pendidikan. Murah dalam pendidikan sekarang, mustahil. Mainstream kapitalisme telah merasuk dalam segi paling inti di negeri ini yaitu pendidikan.

Maka tidak salah, wacana pembuatan UU ttg kapitalisme pendidikan pun hanya sebatas angin lalu, tak ada efek. Solusi nyata, yaitu rubah mainstream sistemnya. Pertanyaannya, sistem yang seperti apa yang mampu merubah itu semua?

Apakah sistem yang masih sama, yaitu Kapitalisme? Atau sistem Sosialisme yg sdh terbukti hancur? Atau sistem yang pernah mencetak generasi penemu dan ilmuwan dunia yaitu Islam?

Jelas, fakta membuktikan Islam lah yang pernah mencetak para ilmuwan dan penemu yang mainstream berpikirnya bukan untuk "Jadikan negara ini sebagai dunia bisnis". Karena sistem Islam mencetak ilmuwan yang berpikir, "akan saya kuasai dunia demi tegaknya Islam"
Read More
, ,

Ingin Berjuang Tanpa Resiko?



Ada sebuah hadits yang menyatakan:

“Tidaklah patut seorang mukmin itu menghinakan dirinya”. Para shahabat bertanya: ‘Bagaimana dia menghinakan dirinya?‘ Rasulullah saw menjawab: “Dia melibatkan diri pada permasalahan yang ia tidak mampu menghadapinya”.


Sebagian kaum muslimin menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwa seorang muslim seyogyanya menjauhkan diri dari permasalahan-permasalahan yang berat. Lebih jauh, mereka mengambil hadits ini sebagai rukhshah (keringanan syara’) untuk meninggalkan sebagian kewajiban dan mengerjakan sebagian dari hal-hal yang diharamkan –demi menjauhkan diri, agar tidak terlibat dalam permasalahan yang penuh resiko. Misalnya, perjuangan politik untuk menegakkan daulah Islam, tentu akan membawa pelakunya kepada ancaman para penguasa; mulai dari penjara, dipecat dari pekerjaan, sampai penyiksaan secara fisik. Pertanyaannya, apa benar bahwa di dalam hadits tersebut, ada rukhshah untuk meninggalkan usaha da’wah dalam keadaan seperti ini dan berdiam diri terhadap sistem yang sedang berlaku di seluruh dunia Islam sekarang?

Sebelum membicarakan fiqh hadits tersebut di atas, terlebih dahulu akan kita bicarakan sanadnya; untuk mengetahui apakah benar hadits tersebut telah diucapkan Rasulullah saw? Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad. Imam Tirmidzi mengatakan bahwa Hadits ini adalah hadits Hasan-gharib. Tentang hadits tersebut, Ibnu Abi Hatim berkata bahwa ini adalah hadits munkar (tertolak)’. Sedangkan menurut Al Albani, “Itu adalah hadits munqathi’ (terputus sanadnya)”. Lebih lanjut beliau menambahkan: “Ada hadits marfu’ dari Ibnu ‘Umar yang mirip dengan hadits ini, yang di dalam sanadnya ada Zakaria bin Yahya Al Madaîni”.

Tentang orang ini, Al Albani berkomentar bahwa jika yang dimaksud adalah Abu Yahya Al Lu`lu`i (Abu Yahya AlMadaini), berarti hadits tersebut adalah shahih. Dengan kata lain, beliau menggantungkan keshahihan hadits tersebut dengan syarat ini1).

Tentang putusnya sanad pada alasan pertama, cukup kuat diterima. Sedangkan pada alasan kedua, didalam sanadnya terdapat perawi majhul (tidak diketahui). Sehingga tidak boleh menjadikan hadits seperti ini sebagai dalil, karena memang belum mencapai tingkatan riwayat yang shahih atau hasan. Walaupun sebagian Perawi hadits mengatakannya hasan, tentulah karena mereka tidak mengetahui cacat yang tersembunyi dalam hadits ini.

Ini dari segi sanad. Adapun dari segi makna (mafhum hadits), kita harus memahaminya melalui konteks hadits-hadits yang shahih serta ayat-ayat suci yang menjelaskan masalah ini. Tentang ungkapan Rasul pada ujung hadits tersebut:

“Melibatkan diri pada permasalahan yang ia tidak mampu menghadapinya”. Harus difahami secara syar’i untuk menentukan apa sebenarnya batas kemampuan, dan tindakan apa yang dianggap oleh syara’ “di luar kemampuan”.

Adapun hal-hal yang di luar kemampuan manusia, itu jelas tidak diwajibkan syara’ atasnya. Sesuai dengan apa yang tertera dalam surat Al Baqarah ayat 286:

“Allah tidak membebani (sesuatu) pada seseorang, melainkan sesuai dengan kemampuannya”.

Oleh karena itu, tidak boleh membiarkan setiap individu menentukan sendiri batas kemampuan atau batas kesanggupan sesuai dengan keinginan hawa nafsunya. Tetapi yang menentukannya adalah syara’ semata. Untuk pemahaman yang lebih lanjut, marilah kita menelaah kembali tafsir ayat 106 dari surat An Nahl yang berbunyi:

“Siapa saja yang kufur kepada Allah setelah ia beriman, kecuali seseorang yang dipaksa sedangkan hatinya tetap teguh dengan iman”.

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan2): ["Orang-orang Musyrik Quraisy menangkap 'Ammar bin Yasir, lalu mereka menyiksanya sampai ia hampir-hampir menuruti sebagian keinginan mereka. Kemudian ia adukan hal tersebut kepada Nabi saw. "Bagaimana kau mendapati hatimu?", tanya beliau. "Tetap teguh dengan Iman", jawabnya. Lalu Rasulullah bersabda: "Kalau mereka mengulangi lagi perbuatannya, maka ulangilah sikapmu itu".]

Ibnu Katsir kemudian menambahkan: ["Oleh karena itu, para Ulama telah sepakat bahwa seseorang yang dipaksa kufur, dibolehkan baginya menuruti keinginan pihak yang memaksanya, demi keselamatannya. Boleh juga ia menolak, seperti yang dilakukan Bilal ra, yang mengabaikan mengucapkan kata-kata kufur, walaupun mereka melakukan berbagai penyiksaan terhadapnya. Bilal hanya mengucapkan "Ahad" berkali-kali, sambil mengatakan: "Kalau aku tahu ada satu kata lain, yang akan menyebabkan kalian lebih marah, tentulah akan aku katakan!" Radliallahu Anhu. Demikian juga yang dilakukan oleh Habib bin Zaid Al Anshari terhadap pertanyaan Musailamah Al Kadzdzab kepadanya: "Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu Rasulullah?" "Ya, benar", jawabnya. Kemudian Musailamah bertanya lagi: "Apakah engkau juga bersaksi bahwa Aku ini Rasulullah? Dia menjawab: "Itu tidak pernah kudengar". Lalu Musailamah menyiksanya dengan cara memotong-motong tubuhnya hidup-hidup (dicincang), sedangkan Habib bin Zaid tetap teguh dengan sikapnya itu.]

Ibnu Katsir menambahkan: ["Lebih utama dan lebih baik bagi seorang Muslim tetap teguh memegang agamanya, sekalipun akhirnya ia dibunuh, seperti yang dikatakan juga oleh Al Hafidz ibnu 'Asakir dalam menulis catatan biografi Abdullah ibn hudzafah As Sahmi"].

Bertolak dari penjelasan tersebut di atas, maka seorang Muslim tidak boleh meninggalkan fardlu atau melakukan perbuatan haram/maksiyat, kecuali apabila dihadapkan kepada suatu cobaan yang sungguh-sungguh tidak sanggup ditanggungnya. Batas kemampuan dan kesanggupan itu adalah apa yang disebut oleh syari’at Islam dengan istilah “Al Ikraahul Mulji’”, yaitu paksaan yang mendorong seorang muslim untuk melanggar ketentuan hukum syara’, yang ia benar-benar disiksa/disakiti. Atau, ia mengira dengan pasti bahwa ia akan disiksa dengan siksaan yang sangat mengkhawatirkan kematiannya atau menyebabkan kelumpuhan, misalnya patah tulang-tulangnya, tubuhnya dicincang dan sebagainya. Siksaan semacam itu yang dapat menimpa seseorang akan memberinya rukhshah untuk mengerjakan sebagian perbuatan haram/maksiyat dan bukan setiap perbuatan maksiyat yang diharamkan. Itupun dengan syarat: tidak mendorongnya untuk melakukan perbuatan haram lainnya yang lebih besar atau yang serupa dengannya. Misalnya, ia dipaksa menjadi mata-mata, disuruh membunuh orang, atau melakukan homoseks dengan nara pidana, atau membocorkan rahasia gerakan yang ia menjadi anggotanya, dan lain lain.

Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh meninggalkan fardlu atau mengerjakan hal-hal yang haram, hanya karena rasa takut dihina, dipenjara, atau setelah disiksa dengan siksaan yang ringan, atau karena ingin mempertahankan pekerjaannya, menyelamatkan hartanya, dan sebagainya. Sebab, semua ini masih termasuk dalam batas kemampuan manusia dan bukan di luar kemampuannya. Juga, hal seperti itu belum sampai kepada batas “al Ikraahul Mulji’”, seperti yang telah dijelaskan di atas.

Kalau saja setiap masalah yang memberatkan diri seorang Muslim terdapat rukhshah baginya untuk meninggalkan semua fardlu /kewajiban dan mengerjakan perbuatan-perbuatan haram /maksiyat, tentulah Islam tidak dapat tegak di bumi ini. Bahkan, tidak akan pernah muncul suatu ummat yang berjuang secara terus menerus. Cobalah simak sejarah kaum Muslimin yang memperjuangkan Islam dengan susah payah di masa Rasulallah saw, sebagaimana yang diceritakan Al Qurâan sendiri, yaitu:

“Sesungguhnya Allah berkenan menerima taubat Nabi, kaum Muhajirin dan Anshar yang mengikuti Nabi (dalam perang Tabuk), di saat (mereka) menghadapi kesusahan” (QS At Taubah 117).

Tentang kejadian ini, Imam Ibnu katsir berkata3): ["Mereka telah keluar ke perbatasan Syam pada tahun terjadinyaa perang Tabuk, di saat panas membara, dalam keadaan susah-payah yang hanya Allahlah yang mengetahuinya. Mereka sangat menderita, sehingga telah sampai kepada kita bahwa kadang-kadang dua orang laki-laki membelah satu buah korma untuk dimakan bersama. Kadang-kadang ada sekelompok orang yang mengambil satu buah korma, lalu masing-masing mengunyamnya dan meneguk airnya, lantas digilirkannya kepada yang lain"].

Pada saat itu, keluarnya Kaum Muslimin ke medan pertempuran (perang Tabuk) diwajibkan atas setiap muslim. Oleh karena itu, terhadap tiga orang dari kalangan shahabat Anshar, yang tidak ikut berangkat bersama Rasulullah dan kaum muslimin, yaitu Kaab bin Malik, Hilal bin Umayah dan Mararah bin Rabi’ah dijatuhkan hukuman pemboikotan total atas mereka, sebagaimana yang diterangkan oleh ayat berikutnya. Kemudian Allah menjelaskan keutamaan kesabaran dan pengorbanan mereka dengan firmanNya:

“Tidaklah sepatutnya penduduk Madinah dan orang-orang Arab badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang). Dan tidak patut pula bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. (Orang-orang yang demikian itu tidak mendapatkan imbalan sebagai mujahidin), yang mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan di jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat (peperangan) yang membangkitkan amarah orang-orang kafir. Dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskan bagi mereka dengan yang demikian itu sebagai suatu amal shaleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan orang-orang yang berbuat baik. Juga, mereka tidak menafkahkan suatu nafkah yang kecil maupun yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal yang shaleh pula). Karena itu, Allah akan memberikan balasan yang lebih baik kepada mereka daripada apa yang telah mereka kerjakan” (At Taubah: 120-121).

Seorang muslim diwajibkan berjihad/berperang fi sabilillah sesuai dengan perintah Allah SWT:

“Diwajibkan atas kalian berperang, padahal itu adalah suatu hal yang kalian benci” (Al Baqarah: 216).

Jihad itu diwajibkan, walaupun menyebabkan dirinya terbunuh, terluka, ditawan musuh, atau meninggalkan harta dan orang-orang yang dicintainya. Melibatkan diri dalam jihad, tidak diserahkan pada semangat individu. Tidak diperhatikan apakah ia bersedia mengorbankan sesuatu atau tidak, melainkan ia dipaksa untuk melakukannya. Sebab, Allah SWT berfirman:

“Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, Isteri-isteri kalian, keluarga kalian, dan harta benda yang kalian dapatkan, serta perdagangan yang kalian takutkan kerugiannya, juga tempat-tempat tinggal yang kamu sukai lebih kalian cintai daripada mencintai Allah dan RasulNya, serta jihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan azhab dengan perintahnya. Dan Allah tidak akan memberi petunjuk bagi orang-orang yang fasik” (At Taubah: 24).

Lagi pula Allah berfirman:

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin itu diri dan harta mereka dengan memberikan Surga untuk mereka. Maka, hendaklah mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qurâan. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka, bergembiralah kalian dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu. Dan itulah kemenangan yang besar” (At Taubah: 111).

Oleh karena itu, jika seorang Muslim dibebani sikap pengorbanan dalam urusan jihad fi sabilillah, maka tidak aneh lagi apabila dalam hal mengerjakan amar ma’ruf dan nahi munkar, ia mempunyai sikap yang sama atau yang mirip dengannya, seperti mengorbankan semua atau sebagian hartanya, mengorbankan jiwanya atau menerima siksaan yang menyebabkan tubuhnya terluka atau cacat selamanya, dan lain sebagainya.

Masalah ini berkaitan dengan nash syara’ yang berupa taklif syar’i (kewajiban) dan tidak dikaitkan dengan keinginan individu untuk menentukan kemampuan dan kesanggupan sesuai dengan hawa nafsunya. Misalnya dalam hal mengerjakan amar ma’ruf dan nahi mungkar, atau berjuang untuk meruntuhkan sistem komunis/sosialis maupun sekularisme yang kufur, atau berjuang untuk menegakkan negara khilafah Islam yang akan menjalankan urusan pemerintahannya berdasarkan apa yang telah diturunkan Allah SWT [Islam]; maka Allah SWT telah mewajibkan kaum muslimin untuk mengorbankan harta dan diri mereka; di samping menahan diri dalam menerima cobaan, siksaan, kehinaan, dan kesulitan, serta senantiasa bersabar dalam menghadapi tantangan tersebut. Sebagaimana sikapnya dalam melakukan jihad, walaupun hukum-hukum jihad berbeda dengan hukum-hukum yang menyangkut amar ma’ruf nahi munkar atau hukum-hukum yang menyangkut tegaknya khilafah Islam.

Tentang sikap pengorbanan dalam melakukan mar ma’ruf dan nahi munkar, serta dalam usaha menegakkan khilafah Islam, terdapat banyak hadits dari Rasulullah saw yang mengharuskan adanya sikap yang demikian itu, antara lain sabdanya4):

“Pemimpin para syuhada’ itu ialah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan seorang laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa yang lalim, lalu ia menyuruhnya berbuat baik dan mencegahnya berbuat munkar, kemudian ia dibunuhnya”.

“Jadilah seperti para shahabat ‘Isa, yang telah digergaji dan disalib. Demi Allah, mati dalam keadaan mentaati Allah itu, lebih baik dari pada hidup dalam maksiyat kepadaNya”.

“Janganlah seseorang di antara kalian dihalangi rasa takut kepada masyarakat untuk tidak menyampaikan kata-kata yang haq, bila ia sudah mengetahuinya”6).

“Siapa saja yang melihat (suatu) kemunkaran, maka hendaklah ia berusaha mengubahnya dengan tangannya. Apabila ia tidak mampu (dengan tangannya), hendaklah ia berusaha dengan lisannya. Dan apabila ia tidak mampu juga, hendaklah ia berusaha mengngkari dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemah Iman”7).

Imam Nawawi menjelaskan hadits ini sebagai berikut8):

["Adapun sabda beliau: "Hendaklah kalian mengubahnya", itu merupakan perintah wajib yang telah disepkati oleh seluruh umat tanpa kecuali. Perintah amar ma'ruf dan nahi munkar ini telah ditetapkan dalam Al Qurâan, As Sunnah dan Ijma' ummat. Juga, dapat dikategorikan dalam penyampaian nasehat, yang tidak lain adalah pangkal agama". Dalam sebuah hadits Qudsi, Rasulullah saw bersabda9): "Allah SWT pada hari Kiamat akan bertanya kepada orang (yang tidak berani menyampaikan kebenaran):

"Apakah yang membuatmu tidak mau mengucapkan (kebenaran) terhadap keadaan ini dan itu?' Orang tersebut menjawab: 'Karena takut (kemarahan) masyarakat!' Maka [Dia] berfirman: ‘Akulah Yang lebih baik kamu takuti’”].

Sistem pemerintahan kufur [sekuler] yang sedang berkuasa di negeri-negeri kaum muslimin saat ini adalah kemunkaran yang terbesar di dunia. Bahkan, itulah pangkal

kejahatan yang senantiasa menghalangi pelaksanaan perbuatan ma’ruf (kebaikan), dan selalu mengembangkan dan melindungi kemunkaran. Oleh karena itu, pangkal kemungkaran ini harus dilenyapkan. Ketetapan ini telah diketahui dengan pasti sebagai sesuatu yang Ma’lumun minad Diini bidldlarurah, yakni hukum yang telah ditentukan oleh Islam dengan pasti, bahwa sistem pemerintahan seperti itu merupakan puncak kemunkaran. Tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk tidak tahu kenyataan ini, betapa pun rendah pengetahuannya.

Setiap muslim, khususnya penguasa yang ada sekarang, walaupun ia menerapkan sebagian kecil saja dari sistem Islam, bisa saja ia melakukan upaya untuk menghilangkan kemungkaran /kekufuran ini, dan menegakkan kekuasaan Islam di negeri-negeri kaum Muslimin yang menjalankan urusan pemerintahannya sesuai dengan apa yang telah diturunkan Allah SWT semata (Islam), bukan apa yang sering diekspor oleh Barat maupun Rusia ke negeri-negeri kaum Muslimin.

Orang Islam yang tidak mengupayakan hal ini, telah berdosa dan telah melalaikan kewajiban-kewajiban agamanya. Dosa itu akan berlipat ganda bagi para penguasa yang masih mempercayai Islam, tetapi takut oleh ancaman oleh negara-negara adidaya bila melaksanakan seluruh hukum dan peraturan Islam, politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan, maupun hukum dan perdata. Tidak ada rukhshah apapun bagi seorang Muslim untuk tetap berdiam diri terhadap pelaksanaan kewajiban ini, dengan alasan hadits yang disebut dalam pertanyaan di atas, ataupun bertolak dari alasan-alasan lain.

Orang-orang yang mencari-cari rukhshah untuk melepaskan tanggung jawab dan tetap berdiam diri terhadap kondisi yang ada, dosanya semakin bertambah, khususnya apabila ia ikut pula menyebarkan rasa pesimis, rela menerima kehinaan, dan atau merasa bahwa umat ini sudah tidak berdaya lagi setelah dikalahkan oleh musuh-musuhnya. Lebih-lebih lagi bila ia mengajak umat untuk tunduk kepada penguasa-penguasa kafir, zhalim ataupun fasik, serta mengajaknya berkompromi dengan mereka, padahal para penguasa tersebut belum mengubah sikapnya atau tetap menolak agama dan sistem Islam yang dapat melestarikan kehidupan negara dan masyarakat.

Mudah-mudahan para penguasa Muslim maupun umat Islam menyadari kewajibannya terhadap tegaknya Islam di muka bumi ini sebagai suatu kekuatan ideologis yang prima.

Sumber : Soal-Jawab Seputar Gerakan Islam, Abdurrahman Muhammad Khalid, Pustaka Thoriqul Izzah, Januari 1994.

——————-

1) Lihat Nashiruddin Al Albani, “Silsilatul Ash Shahihah” II/172.

2) Lihat Tafsir Ibnu Katsir, jilid II, halaman 588-589.

3) Lihat Tafsir Ibnu Katsir, jilid II, halaman 397.

4) Lihat Al Mustadrak, Al Hakim An Naisaburi, III/195; Al Mu’jam Ash Shaghir, Imam Ath Thabrani, I/264)

6) Shahih Ibnu Hibban, hadits no 278; dan Sunan Ibnu Majah, hadits no. 4007.

7) Shahih Muslim, no. 49; Sunan Abu Dawud, no. 1140, 4340; Sunan Tirmidzi hadits no. 2173; Sunan An Nasa’i VIII/111; dan Sunan Ibnu Majah No. 4013.

8) Lihat Syarah Shahih Muslim, jilid II, halaman 21.

9) Lihat Sunan Ibnu Majah, hadits no. 4008.
Diposkan oleh Mush'ab Abdurrahman di 02:18

Read More

Hukum Seputar Narkoba Dalam Fiqih Islam



Narkoba dalam istilah fiqih kontemporer disebut “al mukhaddirat” (Inggris : narcotics).  Definisinya menurut Syaikh Wahbah Zuhaili adalah segala sesuatu yang membahayakan tubuh dan akal (kullu maa yadhurr al jism wa al ‘aql). (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 4/177). Definisi itu kurang tepat karena terlalu luas, mengingat definisi itu dapat mencakup apa-apa yang di luar pengertian narkoba, semisal juga racun dan rokok. Ada definisi lain yang lebih tepat, yakni bahwa narkoba adalah segala materi (zat) yang menyebabkan hilangnya kesadaran pada manusia atau hewan dengan derajat berbeda-beda, seperti hasyisy (ganja), opium, dan lain-lain. (maaddatun tusabbibu fil insan aw al hayawan fuqdan al wa’yi bidarajaatin mutafawitah). (Ibrahim Anis dkk, Al Mu’jam Al Wasith, hlm. 220).

Syaikh Sa’aduddin Mus’id Hilali mendefisinikan narkoba sebagai segala materi (zat) yang menyebabkan hilangnya atau lemahnya kesadaran/penginderaan. (Sa’aduddin Mus’id Hilali, At Ta`shil As Syar’i li Al Kahmr wa Al Mukhaddirat, hlm. 142).

Narkoba adalah masalah baru, yang belum ada masa imam-imam mazhab yang empat. Narkoba baru muncul di Dunia Islam pada akhir abad ke-6 hijriyah (Ahmad Fathi Bahnasi, Al Khamr wa Al Mukhaddirat fi Al Islam, (Kairo : Muassasah Al Khalij Al Arabi), 1989, hlm. 155).

Namun demikian tak perbedaan di kalangan ulama mengenai haramnya narkoba dalam berbagai jenisnya, baik itu ganja, opium, morfin, mariyuana, kokain, ecstasy, dan sebagainya. Sebagian ulama mengharamkan narkoba karena diqiyaskan dengan haramnya khamr, karena ada kesamaan illat (alasan hukum) yaitu sama-sama memabukkan (muskir). Namun menurut kami, yang lebih tepat adalah pendapat yang mengatakan, haramnya narkoba bukan karena diqiyaskan dengan khamr, melainkan karena dua alsan; Pertama, ada nash yang mengharamkan narkoba, Kedua, karena menimbulkan bahaya (dharar) bagi manusia. Inilah pendapat Syaikh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, juz IV, hlm. 177.

Nash tersebut adalah hadis dengan sanad sahih dari Ummu salamah RA bahwa Rasulullah SAW telah melarang dari segala sesuatu yang memabukkan (muskir) dan melemahkan (mufattir). (HR Ahmad, Abu Dawud no 3686). (Saud Al Utaibi, Al Mausu’ah Al Jina`iyah Al Islamiyah, 1/700). Yang dimaksud mufattir (tranquilizer), adalah zat yang menimbulkan rasa tenang/rileks (istirkha`) dan malas (tatsaqul) pada tubuh manusia. (Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah Al Fuqoha`, hlm. 342).

Disamping nash, haramnya narkoba juga dapat didasarkan pada kaidah fiqih tentang bahaya (dharar) yang berbunyi : Al ashlu fi al madhaar at tahrim (hukum asal benda yang berbahaya [mudharat] adalah haram). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, 3/457; Muhammad Shidqi bin Ahmad Al Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyah, 1/24). Kaidah ini berarti bahwa segala sesuatu materi (benda) yang berbahaya, hukumnya haram, sebab syariah Islam telah mengharamkan terjadinya bahaya. Dengan demikian, narkoba diharamkan berdasarkan kaidah fiqih ini karena terbukti menimbulkan bahaya bagi penggunanya.

Sanksi (uqubat) bagi mereka yang menggunakan narkoba adalah ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh Qadhi, misalnya dipenjara, dicambuk, dan sebagainya. Sanksi ta’zir dapat berbeda-beda sesuai tingkat kesalahannya. Pengguna narkoba yang baru beda hukumannya dengan pengguna narkoba yang sudah lama. Beda pula dengan pengedar narkoba, dan beda pula dengan pemilik pabrik narkoba. Ta’zir dapat sampai pada tingkatan hukuman mati. (Saud Al Utaibi,Al Mausu’ah Al Jina`iyah Al Islamiyah, 1/708-709; Abdurrahman Maliki, Nizhamul Uqubat, 1990, hlm. 81 & 98). Wallahu a'lam [K.H. M. Shiddiq Al Jawi]
Read More

Hukum Berqurban Untuk Orang Yang Sudah Meninggal

Tanya :
Ustadz, bolehkah menyembelih qurban untuk orang yang sudah meninggal? (Ratna, Lampung)

Jawab :
Ada khilafiyah mengenai hukum berqurban bagi orang yang sudah meninggal (al-tadh-hiyyah 'an al-mayyit). Ada tiga pendapat. Pertama, hukumnya boleh baik ada wasiat atau tidak dari orang yang sudah meninggal. Ini pendapat ulama mazhab Hanafi, Hambali, dan sebagian ahli hadis seperti Imam Abu Dawud dan Imam Tirmidzi. Kedua, hukumnya makruh. Ini pendapat ulama mazhab Maliki. Ketiga, hukumnya tidak boleh, kecuali ada wasiat sebelumnya dari orang yang meninggal. Ini pendapat ulama mazhab Syafi'i. (Hisamuddin Afanah, Al-Mufashshal fi Ahkam Al-Udhhiyah, hlm. 158; M. Adib Kalkul, Ahkam Al-Udhhiyah wa Al-Aqiqah wa At-Tadzkiyah, hlm. 24; Nada Abu Ahmad, Al-Jami' li Ahkam Al-Udhhiyah, hlm. 48).

Pendapat pertama berdalil antara lain dengan hadis Aisyah RA bahwa ketika Nabi SAW akan menyembelih qurban, beliau berdoa,"Bismillah, Ya Allah terimalah [qurban] dari Muhammad, dari keluarga Muhammad, dan dari umat Muhammad." (HR Muslim no 3637, Abu Dawud no 2410, Ahmad no 23351). Hadis ini menunjukkan Nabi SAW berqurban untuk orang yang sudah meninggal. Sebab beliau telah berqurban untuk keluarga Muhammad dan umat Muhammad, padahal di antara mereka ada yang sudah meninggal. (Hisamuddin Afanah, ibid., hlm. 161).

Pendapat kedua beralasan tidak ada dalil dalam masalah ini, sehingga hukumnya makruh. (Hisamuddin Afanah, ibid., hlm. 164). Sedang pendapat ketiga berdalil antara lain dengan firman Allah SWT (artinya),"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (QS An-Najm [53] : 39). Juga dengan hadis Hanasy RA bahwa ia melihat Ali bin Abi Thalib RA menyembelih dua ekor kambing, lalu Hanasy bertanya,"Apa ini?" Ali menjawab,"Sesungguhnya Rasulullah SAW telah berwasiat kepadaku untuk berqurban untuknya, maka akupun menyembelih qurban untuk beliau." (HR Abu Dawud no 2408, Tirmidzi no 1415). Hadis ini menunjukkan bolehnya berqurban untuk orang yang sudah meninggal jika dia berwasiat. Jika tidak ada wasiat hukumnya tidak boleh. (Imam Nawawi, Al-Majmu' 8/406; Nihayatul Muhtaj 27/231, Mughni Al-Muhtaj 18/148, Tuhfatul Muhtaj 41/170).

Yang rajih (kuat) menurut kami adalah pendapat pertama. Sebab lafazh "umat Muhammad" dalam hadis Aisyah RA adalah lafazh umum, sehingga mencakup semua umat Muhammad, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, baik yang meninggal berwasiat atau tidak. Imam Shan'ani berkata,"Hadis ini menunjukkan sahnya seorang mukallaf melakukan perbuatan taat untuk orang lain, meskipun tidak ada perintah atau wasiat dari orang lain itu." (Imam Shan'ani, Subulus Salam, 4/90).

Pendapat ketiga yang mensyaratkan wasiat, didasarkan pada mafhum mukhalafah (menarik pengertian implisit yang berlawanan dengan pengertian eksplisit). Artinya, jika Ali RA sah berqurban untuk Nabi SAW karena ada wasiat, maka kalau tidak ada wasiat hukumnya tidak sah. Mafhum mukhalafah ini tidak tepat, karena bertentangan dengan hadis Aisyah yang bermakna umum. Imam Taqiyuddin an-Nabhani berkata,"Mafhum mukhalafah tidak diamalkan jika ada nash Al-Qur`an dan As-Sunnah yang membatalkannya." (Taqiyuddin an-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 3/200).

Kesimpulannya, boleh hukumnya menyembelih qurban untuk orang yang sudah meninggal dunia, baik ada wasiat maupun tidak darinya. Wallahu a'lam.[Muhammad Shiddiq Al-Jawi]

Read More